Arti sebuah Kepercayaannya

sepi sendiriKepercayaan pada seseorang ataupun pada suatu organisasi atau apapun juga, secara psikologis, dibangun melalui upaya yang tidak mudah. Kepercayaan dihasilkan dan mengendap dalam jiwa seseorang pada “tidakan” orang lain, misalnya tindakan bahwa orang tersebut berbuat jujur, dihasilkan atau dibangun melalui perulangan-perulang atas perilaku orang tersebut di mata dia. Karena seseorang itu berkali-kali bertindak sesuai dengan apa yang dikatakannya, misal menepati janji, maka keyakinan bahwa orang tersebut akan menepati “janjinya” di lain waktu semakin tinggi atau semakin yakin. Hal tersebut juga berlaku untuk “cinta”.
Dibohongi berkali-kali juga akan menyebabkan seseorang memiliki keyakinan bahwa orang yang berbohong berulang-ulang tersebut merupakan seorang “pembohong”. Seorang yang berkali kali tidak setia terhadap “cintanya” juga akan dianggap atau diyakini bahwa orang itu memang bertipe tidak “setia”.

Untuk mengubah suatu kepercayaan satu mejadi kepercayaan yang berkebalikan, misal percaya bahwa dia seorang pembohong karena berkali-kali bohong, menjadi percaya bahwa dia seorang yang jujur atau bukan pembohong, haruslah dipupuk dengan melakukan “tindakan” atau “perilaku” jujur yang berulang-ulang kali. Jika dia ditengah-tengah upaya membangun kepercayaan agar dianggap jujur itu, terjebak atau terjatuh pada “tindakan” bohong lagi, maka dia akan dianggap pembohong kembali. Sia-sialah semua usahanya untuk berbuat “jujur”.

Karena Cinta Kebohongan itu bisa Diterima

Seorang ibu atau keluarga akan mampu menerima kenyataan bahwa anaknya sering melakukan kebohongan. Ia tidak akan menjauhinya atau menolaknya. Rasa atau perasaan kasih dan sayang mampu menghapuskan sisi negatif dari seseorang. Demikian pula halnya dengan seseorang kekasih yang suka berbohong namun masih juga diterima oleh pasangannya. Cinta memang merupakan rasa yang mampu menetralisir kenyataan yang ada dan bahkan berniat untuk membantu mengubah sisi negatif yang dicinta.

Namun kadang kala, logika juga mampu membuat keputusan bahwa seseorang yang dicintai namun berkelakuan pembohong atau tidak baik, haruslah ditinggalkan. Terlebih lagi yang dicinta bukanlah merupakan hasil dari “keluarga”. Keputusan untuk menolak rasa dan mengedepankan kenyataan bisa jadi merupakan keputusan yang bijaksana. Terlebih lagi jika ini tidak menyangkut hubungan kekeluargaan.
Di Zaman yang serba sulit dimana permasalahan hidup semakin rumit dan komplek terkadang tidak sedikit sebagian dari kita putus asa dan cenderung pasrah kepada nasib yang sedang menimpa, meskipun kita semua tahu bahwa tidak ada masalah serius yang tidak ada jalan keluarnya kalau kita mau berusaha, tapi kebanyakan orang kurang sabar dan terburu-buru ingin segera keluar dari permasalahan hidup yang sedang terjadi akibatnya mengambil jalan pintas yang berakibat fatal dengan tidak tercapainya tujuan atau malah cenderung pasrah pada nasib.

Berserah diri dan pasrah kalau dilihat hampir mempunyai kemiripan akan tetapi memiliki makna yang sangat jauh berbeda, sikap berserah diri adalah sebuah sikap yang menyerahkan segala sesuatu kepada sang pencipta setelah seseorang melakukan perjuangan atau berusaha secara maksimal karena sadar sebagai hamba tidak pernah akan bisa menentukan hasil dari aktifitas pekerjaannya hasil yang menentukan adalah Sang pencipta, tetapi tidak lepas dari kerja keras manusia. Sedangkan pasrah adalah sebuah sikap atau perbuatan dengan balutan putus asa sehingga ada kecenderungan berserah total pada apa yang akan dia terima tanpa berusaha memperjuangkannya.

Sebagai Manusia kita bebas memilih dari kedua sikap tersebut tapi alangkah baiknya kalau kita menjatuhkan pilihan kita kepada sikap berserah diri bukan pasrah, sekali lagi tidak ada Masalah yang berat yang tidak ada jalan keluarnya ketika kita mau berusaha dan bekerja keras untuk menyelesaikannya,Wassalam..

Leave a Reply