Kisah tentang Wahsyi, Pembunuh Hamzah Paman Rasulullah dan Musailamah Al-Kadzdzab

semasa jahiliyahnya, Wahsyi–budak berkulit hitam yang merupakan penombak ulung–berhasil menombak Hamzah, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki julukan Asadullah (singa Allah). Namun ketika ia telah berislam, ia membunuh Musailamah Al-Kadzdzab sang Nabi palsu.

Barangkali, perkataan yang paling cocok menggambarkan beliau adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

“Yang terbaik di antara kalian pada masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika dia itu fakih (paham agama).” (HR. Bukhari, no. 4689)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Amr bin Umayyah Adh-Dhimri sebagai berikut.

“Aku pernah pergi bersama Ubaidillah bin Adi bin Khiyar. Setelah kami sampai di daerah Himsha, Ubaidillah bin Adi berkata, ‘Apakah engkau berani menemui Wahsyi untuk menanyainya tentang bagaimana dulu Hamzah terbunuh?’

Aku berkata, ‘Ya’

Saat itu Wahsyi tinggal di daerah Himsha. Kami pun bertanya kepada penduduk setempat. Ada seseorang yang menjawab, ‘Dia di dalam kerajaannya seperti seekor ayam besar.’

Kami pun menemui dan mengucapkan salam kepadanya. Dia menjawab salam kami. Sementara itu, Ubaidillah membalutkan surban ke wajahnya, sehingga Wahsyi hanya bisa melihat kedua mata dan kakinya saja. Ubaidillah berkata kepada Wahsyi, ‘Wahsyi, apakah engkau mengenaliku?’

Wahsyi menatap Ubaidillah, lalu berkata, ‘Tidak. Demi Allah, hanya saja aku tahu Adi bin Khiyar pernah menikah dengan seorang wanita yang dikenal dengan Ummu Qital binti Abil Ish. Keduanya diberi seorang anak waktu berada di Mekkah. Aku pernah mencarikan seorang wanita untuk menyusui anaknya. Aku membawa anak itu bersama ibunya, lalu aku serahkan kepada wanita yang menyusui anak itu dan sepertinya aku pernah melihat kedua telapak kakimu.’

Ubaidillah membuka tutup wajahnya lalu berkata, ‘Katakanlah kepada kami bagaimana Hamzah terbunuh.’

Wahsyi berkata, ‘Baik. Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin Adi bin Khiyar pada perang Badar. Saat itu juga, tuanku (Jubair bin Muth’im) berkata kepadaku, ‘Jika engkau berhasil membunuh Hamzah untuk menebus nyawa pamanku, berarti engkau telah merdeka.’

Ketika orang-orang pergi pada tahun Ainain (nama sebuah gunung di lereng gunung Uhud yang disekat dengan sebuah lembah), aku ikut pergi bersama mereka menuju ke medan perang. Setelah para pasukan bertempur, tiba-tiba muncul Siba’ seraya berteriak, ‘Apakah ada yang sanggup melawanku?’

Saat itu juga Hamzah bin Abdul Muthallib menghadapinya seraya berkata, ‘Siba’, anak Ummu Anmar, wanita tukang khitan! Apakah kau menantang Allah dan Rasulullah?’

Tidak lama kemudian Hamzah menikam Siba’ hingga tewas begitu saja.

Dari arah lain, aku telah mengintai Hamzah dari balik batu besar. Ketika posisinya dekat denganku, aku langsung melesatkan tombak ke arahnya. Tombak tersebut mengenai kandung kemih hingga menembus kedua tulang pinggul Hamzah.

Demikianlah dia terbunuh. Saat orang orang kembali ke Mekkah, aku kembali bersama mereka dan menetap disana hingga orang Islam memenuhi kota tersebut (Fathu Makkah)

Beberapa waktu kemudian, aku pergi ke Thaif. Kemudian penduduk THaif telah mengutus seseorang menemui Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menyakiti para pendatang. Aku pun pergi bersama mereka hingga menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah melihat diriku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah engkau si Wahsyi?’

Aku berkata, ‘Benar.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, ‘Apakah dirimu telah membunuh Hamzah?’

Aku berkata, ‘Engkau sendiri telah mendengarnya.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah engkau bisa menjauhkan wajahmu dariku?’

Aku pun pergi begitu saja. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan muncul Musailamah Al-kadzdzab, aku berkata dalam hati, ‘Aku akan pergi membunuh Musailamah untuk menebus nyawa Hamzah.’

Aku pun pergi bersama kaum muslimin dan terjadilah apa yang harus terjadi. Saat itu, ada seorang laki-laki berdiri di gang sebuah tembok, seperti seekor unta berwarna cokelat, dan berambut acak-acakkan. Aku pun melemparkan tombakku hingga mengenai tengah-tengah dada dan menembus kedua tulang iganya. Tiba-tiba, salah seorang laki-laki dari kaum Anshar meloncat dan menyabet kepala Musailamah dengan pedang.’”

Disalin dari “Kisah-kisah Ajaib dalam Hadis Rasulullah shalallahu “alaihi wa sallam” (Judul Asli: Min Ajaaibil Awwaliin), Rabi’ Abdurrauf Az Zawawi. Penerit: Ziyad Books. Surakarta 2008.

Leave a Reply